Friday, October 31, 2008

Garudeya Merah Putih


Putih warna ning pupu nira, makahingan ing nabhi
Mirah warna ning dada nira, makahingan ing gulu

Putih warna pahanya hingga bagian perutnya,
Merah warna dadanya hingga batang lehernya.

(Gàrudeyamantra)











Dalam Bhàratayuddha disebutkan bahwa kereta Úri Kåûóa dihiasi bendera (dvaja) berwujud raja burung, yakni Garuda yang seakan-akan berteriak di angkasa diikuti oleh gemuruhnya suara gamelan (IX.10). Pada episode berikutnya dijelaskan gelar perang (formasi menyerang dan bertahan) yang disebut Garudavyùha. Drupada sebagai kepala, paruhnya adalah Arjuna, punggungnya para raja yang dipimpin oleh Yudhistira. Dåûþadyumna dan bala tentaranya sebagai sayap kanan, Bhima mengambil formasi sebagai sayap kiri. Satyaki sebagai ekor burung garuda. Formasi tempur Garudavyùha ini ditiru pula oleh pihak lawan, yakni Kaurava yang dipimpin oleh Suyodhana (XII.6-8).

Sri Maharaja Balitung (898 – 910) memakai gelar Garudamuka. Raja inilah yang mendirikan candi Prambanan. Di bagian Selatan candi Prambanan dilukis burung Garuda yang menjadi kendaraan Dewa Wisnu yang berwarna Merah Putih. Warna dalam melukis unggas sakti itu ditentukan, warna merah adalah warna dada sampai ke leher, sedangkan warna putih adalah warna paha sampai ke perutnya.
Ketentuan ini dikekalkan dalam magi mantra seperti yang ditemukan di pulau Lombok dalam Puri Cakranegara . Di sana ditemukan suatu keropak tertulis dalam bahasa Jawa Kuno berisi mantra untuk menghormati burung Garuda (Garudeyamantra) yang dilafalkan pada waktu mau makan untuk menangkal racun yang mungkin ada dalam makanan atau minuman. Bunyi mantra itu sebagai berikut:

Putih warna ning pupu nira, makahingan ing nabhi

Mirah warna ning dada nira, makahingan ing gulu


Putih adalah warna pahanya, sampai ke perutnya

Merah adalah warna dadanya, sampai ke lehernya


Sejak raja Airlangga (1000) sampai Kertajaya raja Kediri yang paling akhir, Garuda Muka dipakai sebagai Cap Kepala Negara. Ini juga dipakai oleh raja Jayabaya.


Tahun 1292 Eyang Wijaya membentuk kerajaan baru yang bernama Wilwatikta (Majapahit) dengan gelar Kertarajasa Jayawardana. Bendera Merah Putih dikekalkan dalam suatu tulisan di atas logam tembaga tahun 1294, yang secara tiba-tiba ditemukan dalam tahun 1780 Masehi di celah gunung Butak di Selatan Mojokerto. Piagam ini dikenal dengan nama Piagam Butak. Menurut Dr. Brandes, bagian penting dari Piagam Butak itu berbunyi sebagai berikut:

An mangkana lumaku ta muwah sanjata Cri Maharaja dating i Rabutcarat, tan asowe i ikang kala, maso tekang catru sakakulwan, irika ta Cri Maharajanaprang sahawadwanira kabeh alaralayu mewah catru Cri Maharaja, akweh Iwangnya teher atinggal yayanpangdawuta kabeh semuni lawan Cri Maharaja, ring samangkana, hana ta tunggulning catru layulayu katon wetani haniru, bang lawan putih warnnanya, sakatonikang tunggul ika, irika ta yanpangdawut sanjata sang Arddharaja, lumakwakenan sayaprawrti, alayu niskarananujwi Kapulungan…

Artinya:

Demikianlah ketika itu tentara Sri Baginda bergerak terus sampai di Rabutcarat, tak lama kemudian datanglah musuh dari sebelah Barat. Seketika itu pula Sri Baginda bersama tentaranya bertempur, dan musuhpun lari tunggang langgang untuk selama-lamanya. Dalam pada itu dari Timur tampak bendera musuh meniru Merah Putih berkibar melambai-lambai. Ketika bendera itu dilihat oleh Sang Ardaraja, pada saat itu pula Sang Ardaraja meninggalkan perjuangan, berlaku hina lari menuju Kapulangan.

Majapahit runtuh pada tahun 1400 menurut tahun Candrasengkala “sirna ilang kertaning bumi” (0041), membacanya dari kanan. Dua buah cincin berasal dari Majapahit sebagai pusaka turun temurun setelah melalui pergolakan Jipang, Pajang dan Jepara (1525 – 1575 ), maka dua buah cincin ini jatuh ke tangan raja putri Jepara yaitu raja putri Kalinyamat. Kedua cincin tersebut yang satu berwarna merah manikam atau merah batu delima, dan yang satu lagi berintan permata putih. Menurut kepercayaan kesaktian, berkat kesaktian permata merah putih ini, maka yang memilikinya akan dapat melanjutkan dan menyambung perjalanan sejarah Majapahit. Dalam Babad Tanah Jawi disebutkan bahwa kedua cincin pusaka ini kelak dihadiahkan kepada Ki Ageng Pemanahan yang keturunannya akan menjadi raja Mataram.

Kerajaan Mataram melanjutkan penghormatan bendera Merah Putih sebagai peninggalan Kyai Ageng Tarub dengan sebutan warna rakyat, yaitu warna gula merah dan kelapa. Maka bendera Mataram disebut dengan nama bendera Gula Kelapa. Setelah Mataram pecah menjadi kerajaan Surakarta dan Jogjakarta, corak bendera Gula Kelapa menjadi bermacam-macam, misalnya separuh atas merah dan separuh bawah putih, merah bergaris pinggir putih atau putih bergaris pinggir merah, dasar putih dengan keempat sudutnya merah dan sebagainya, yang pokok semua berwarna merah dan putih.

Penghormatan Merah Putih yang awalnya berhubungan dengan kepercayaan kesaktian, lama-lama penghormatan itu dilahirkan dengan mengambil benda memakai warna merah dan putih. Rasa kehormatan dalam hati sanubari disambung dengan benda kehormatan. Kecuai benda penghormatan yang berwujud bendera Merah Putih dan Garuda Merah Putih, benda kehormatan yang lain berupa aksara Merah Putih di beberapa candi, lukisan Hanoman dan Api di candi Prambanan dan Penataran, ada juga berupa kembang Tunjung Merah Putih, berupa makanan jenang Abang Putih atau bubur Merah Putih di Jawa, Sunda, Palembang dan lain-lain, bubur sago Merah Putih di Irian Barat.

Thursday, September 4, 2008

Nuclear and Airplane in Prehistoric Age

Sumber:
(situs resmi Civilian Radioactive Waste Management) http://www.ocrwm.doe.gov/factsheets/doeymp0010.shtml
(situs resmi American Nuclear Society)

http://www.ans.org/pi/np/oklo/
(situs resmi Nuclear Management Company LLC)

http://www.nmcco.com/education/facts/environment/used.htm
(situs resmi World Mistery)
http://www.world-mysteries.com/sar_7.htm

Kira-kira 1500 juta tahun yang lalu, sebuah reaktor nuklir telah beroperasi di suatu daerah yang sekarang menjadi kawasan Oklo, di negara Republik Gabon, Afrika. Reaktor itu telah beroperasi selama ratusan tahun pada waktu itu, tetapi tentu saja, sekarang sudah tinggal bukti-bukti keberadaannya saja.



Col. Henry S Olcott
(1832 – 1907) American author, attorney, philosopher, and cofounder of the Theosophical Society in a lecture in Allahabad in 1881 mengatakan:
“The ancient Hindus could navigate the air, and not only navigate it, but fight battles in it like so many war-eagles combating for the domination of the clouds. To be so perfect in aeronautics, they must have known all the arts and sciences related to the science, including the strata and currents of the atmosphere, the relative temperature, humidity, density and specific gravity of the various gases...”

Tertulis dalam Kitab Srimad Bhagavatam, Sixth Canto, Part 3: "One time while King Citaketu was traveling in outer space on a brilliantly effulgent airplane given to him by Lord Vishnu, he saw Lord Siva..." "The arrows released by Lord Siva appeared like fiery beams emanating from the sun globe and covered the three residential airplanes, which could then no longer be seen."

D. Hatcher Childress, "Ancient Indian Aircraft Technology" In The Anti-Gravity Handbook, menyatakan:"The so-called ‘Rama Empire’ of Northern India and Pakistan developed at least fifteen thousand years ago on the Indian sub-continent and was a nation of many large, sophisticated cities, many of which are still to be found in the deserts of Pakistan, northern, and western India. Rama...was ruled by ‘enlightened Priest-Kings’ who governed the cities. The seven greatest capital cities of Rama were known in classical Hindu texts as ‘The Seven Rishi Cities’. According to ancient Indian texts, the people had flying machines which were called ‘vimanas’. The ancient Indian epic describes a vimana as a double- deck, circular aircraft with portholes and a dome, much as we would imagine a flying saucer. It flew with the "speed of the wind" and gave forth a ‘melodious sound’. There were at least four different types of vimanas; some saucer shaped, others like long cylinders (‘cigar shaped airships’)."

Dan inilah suatu relief Vimana di sebuah tempat ibadah kuno (temple/candi) di India: